Kearifan Lokal (local wisdom) mulai memantik perhatian
dunia ketika pada 60-an, sebuah program Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenal
dengan Dasawarsa Pembangunan (Development Decade), gagal menyelesaikan
permasalah utama yang dihadapi negara-negara berkembang di Asia dan Afrika:
kekurangan pangan.
Kearifan lokal merupakan padanan kata dari bahasa Inggris local
wisdom. Kata local (Inggris), atau locaal (Belanda), dalam
bahasa Indonesia diserap dengan kata lokal, diterjemahkan sebagai setempat
atau tempat. Sedangkan wisdom diartikan sebagai kearifan,
yang memiliki kata dasar arif. Kata arif yang kemungkinan diserap
dari bahasa Arab memiliki pengertian paham, mengerti, tahu, mengetahui dan
bisa juga diartikan dengan makna yang lebih luas, bijaksana, berilmu, cerdik
dan pandai.
Dari kata arif didapat turunannya mengarifi,
mengarifkan, dan kearifan. Ketiganya bisa disepadankan dengan mengetahui,
memahami, mengerti, kecendekiaan, atau kebijaksanaan. Dengan
demikian, kearifan lokal (local wisdom) bisa diartikan sebagai pengetahuan
setempat, pemahaman setempat, kecendekiaan setempat, atau kebijaksaan
setempat.
Berkenaan dengan kebijaksanaan, bijaksana mengandung arti dapat
menyelesaikan persoalan tanpa menyakiti baik fisik ataupun perasaan orang lain,
jika dihubungan dengan kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan fisik,
bijaksana mengandung pengertian dapat menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan
kerusakan fisik, atau dikenal dengan istilah penyelesaian yang bijaksana atau
penyelesaian secara baik dan benar.
Sistem beternak ”ala kampung” dan membajak sawah secara
tradisional tersebut tersebut tanpa kita sadari ternyata mampu memenuhi
kebutuhan daging dan beras di dalam negeri. Sehingga saat itu kita tidak
mengenal istilah daging impor, atau beras impor.
Namun kemudian, masuknya era mekanisme di sektor
pertanian telah mengubah perilaku petani dan secara signifikan menurunkan
populasi kerbau dan sapi di dunia. Dan kitapun mulai mengimpor beras. Sawah dan
kerbau, mungkin seperti dua sisi mata uang, tidak berarti jika hilang salah satunya.
Selain itu, kerbau atau sapi juga bisa berkembang
biak jika dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan traktor, jika sudah
sampai akhir masa pakainya akan berubah menjadi onggokan besi tua. Disamping
bahan bakar yang mencemari lingkungan. Jadi jangan aneh, di beberapa daerah di
Jawa akhir-akhir ini membajak sawah dengan kerbau sesuatu yang sangat digemari
petani, di samping untuk tujuan wisata.
banyaknya wisatasan yang ingin belajar bercocok tanam dan berternak di desa-desa yang ada di indonesia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar