Sabtu, 19 Januari 2013

BERTANI,BERTERNAK DI RIAU BERDASARKAN KEARIFAN LOKAL



Kearifan Lokal (local wisdom) mulai memantik perhatian dunia ketika pada 60-an, sebuah program Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenal dengan Dasawarsa Pembangunan (Development Decade), gagal menyelesaikan permasalah utama yang dihadapi negara-negara berkembang di Asia dan Afrika:  kekurangan pangan.

Kearifan lokal merupakan padanan kata dari bahasa Inggris local wisdom. Kata local (Inggris), atau locaal (Belanda), dalam bahasa Indonesia diserap dengan kata lokal, diterjemahkan sebagai setempat atau tempat. Sedangkan wisdom diartikan sebagai kearifan, yang memiliki kata dasar arif. Kata arif yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab memiliki pengertian paham, mengerti, tahu, mengetahui dan bisa juga diartikan dengan makna yang lebih luas, bijaksana, berilmu, cerdik dan pandai.
Dari kata arif didapat turunannya mengarifi, mengarifkan, dan kearifan. Ketiganya bisa disepadankan dengan mengetahui, memahami, mengerti, kecendekiaan, atau kebijaksanaan. Dengan demikian, kearifan lokal (local wisdom) bisa diartikan sebagai pengetahuan setempat, pemahaman setempat, kecendekiaan setempat, atau kebijaksaan setempat.
            Berkenaan dengan kebijaksanaan, bijaksana mengandung arti dapat menyelesaikan persoalan tanpa menyakiti baik fisik ataupun perasaan orang lain, jika dihubungan dengan kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan fisik, bijaksana mengandung pengertian dapat menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan kerusakan fisik, atau dikenal dengan istilah penyelesaian yang bijaksana atau penyelesaian secara baik dan benar.
Sistem beternak ”ala kampung” dan membajak sawah secara tradisional tersebut tersebut tanpa kita sadari ternyata mampu memenuhi kebutuhan daging dan beras di dalam negeri. Sehingga saat itu kita tidak mengenal istilah daging impor, atau beras impor.
Namun kemudian, masuknya era mekanisme di sektor pertanian telah mengubah perilaku petani dan secara signifikan menurunkan populasi kerbau dan sapi di dunia. Dan kitapun mulai mengimpor beras. Sawah dan kerbau, mungkin seperti dua sisi mata uang, tidak berarti jika hilang salah satunya.
Selain itu, kerbau atau sapi juga bisa berkembang biak  jika dipelihara dengan baik. Bandingkan dengan traktor, jika sudah sampai akhir masa pakainya akan berubah menjadi onggokan besi tua. Disamping bahan bakar yang mencemari lingkungan. Jadi jangan aneh, di beberapa daerah di Jawa akhir-akhir ini membajak sawah dengan kerbau sesuatu yang sangat digemari petani, di samping untuk tujuan wisata.
banyaknya wisatasan yang ingin belajar bercocok tanam dan berternak di desa-desa yang ada di indonesia ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar