Seluruh penduduk Sasak Sade beragama Islam. Kurdap meyakini sejak dahulu
leluhur mereka beragama Islam. Hanya saja keislaman mereka belum sempurna.
Mushala, sebagai salah satu pilar kehidupan masyarakat Islam, menjadi
satu-satunya bangunan yang berbeda di Sade. Dinding dan atapnya sama dengan rumah
yang lain, namun lantainya terbuat dari keramik. Tempat wudhunya terbuat dari
gentong besar. Seperti umumnya mushala, di dalamnya terdapat mimbar, mikrofon
dan pengeras suara.
Meski
begitu, budaya gotong royong tetap mereka lestarikan. Saat rumah salah seorang
warga mengalami kerusakan, para tetangga dengan sukarela memperbaikinya. Mulai
dari menganyam alang-alang untuk atap, menaikkan atap, mengganti dinding, semua
dilakukan bersama.
Sebagai desa adat yang memiliki daya tarik wisata, Dusun Sade mampu menyediakan
lahan pekerjaan untuk masyarakatnya, terutama para pemuda. Misalnya, sebagai
pemandu wisata para turis.
Dusun Sade mengandalkan dana dari Dinas Pariwisata untuk mengelola daerahnya.
Karena itu, pengunjung tak dikenai biaya sepeserpun. Pengelola hanya meletakkan
kotak donasi di pintu masuk. Dana itu dimanfaatkan untuk kepentingan sosial,
seperti pembangunan masjid, santunan untuk warga yang sakit atau
meninggal dunia dan bantuan pendidikan. Semua dana yang diperoleh, mereka
kelola secara transparan dan harus dipertanggungjawabkan setiap tahun.
Sistem pengelolaan dusun seperti yang dilakukan masyarakat Sade memperlihatkan
bahwa mereka memiliki jati diri yang kuat. Mereka mampu mengombinasikan
modernisasi dengan nilai-nilai lokal yang mereka yakini kebenarannya. Dan,
ternyata, paduan kedua hal tersebut menjadikan mereka unik. Mari, petik
pelajaran dari kearifan suku Sasak Sade.
Nilai
kearifan suku sasak
1. Krama sebagai lembaga adat :
a. Krama banjar urip pati, yaitu suatu
(kelompok adat atau perkumpulan) masyarakat adat yang anggotanya terdiri atas
penduduk di suatu kam-pung/dusun (dasan) atau berasal dari beberapa dasan,
yang keanggotaannya berdasarkan dan mem-punyai tujuan yang sama.
Krama banjar lebih banyak bergerak pada banjar yang terkait urusan orang
hidup dan orang yang mati. Jenisnya antara lain krama banjar subak,
krama banjar merariq, krama banjar mate,
dan krama banjar haji.
b. Krama
gubuk, yaitu bentuk krama adat yang ber-anggotakan seluruh
masyarakat dalam suatu gubuk (dasan,
dusun, kampung) tanpa kecuali. Keanggotaan krama tidak
memandang bulu asalkan secara adat dan administratif yang bersangkutan adalah
pen-duduk yang sah di dalam gubuk.
c. Krama desa, yaitu majelis adat tingkat desa,
terdiri dari Pemusungan (Kepala Desa Adat), Juru Arah
(Pembantu Kepala Desa), Lang-Lang Desa (Kepala Keamanan Desa), Jaksa (Hakim
Desa), Luput (Koordinator Kesejahteraan Desa), Kiai Penghulu.
2. Krama
sebagai aturan pergaulan sosial :
a. Titi
krama, merupakan adat yang diatur awig-awig sebagai hasil
kesepakatan adat dari seluruh rnasyarakat adat. Jika dilanggar, dikenakan sanksi
sosial atau sanksi moral seperti adat bejiran (bertetangga), adat
nyangkok (menginap di rumah pacar).
b. Bahasa
krama, merupakan budi pekerti, sopan santun atau tata tertib adat yang
diatur dalam awig-awig adat yang harus dilakukan dengan bahasa lisan
dan bahasa tubuh yang santun dan tertib, dilakukan dengan penuh tertib-tapsila.
Dalam bahasa krama terdapat beberapa kaidah dan tata bahasa yang
termuat dalam kearifan lokal masyarakat Sasak, antara lain: tata bahasa,
indit bahasa, rangin bahasa, paribahasa.
c. Aji
krama, merupakan harga adat komunitas atau juga harga status sosial
seseorang atau nilai martabat kekerabatannya seseorang yang terkait dengan hak
adat dalam komunitas, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan
masyarakat adat secara umum. Aji krama ini mencerminkan
pengakuan terhadap status sosial sesorang dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar