Jumat, 04 Januari 2013

MAKALAH BUDAYA ORGANISASI DAN ETIKA MANAJERIAL




                                                                        KATA PENGANTAR


            Dengan mengucapkan puji serta syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkat Rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pengaruh Budaya Terhadap Kemampuan Manajerial”. Makalah ini di buat berdasarkan tugas dari mata kuliah Ilmu Budaya Dasar.
            Saya mengucapkan terima kasih kepada teman serta sumber-sumber yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini. Saya ucapkan terima kasih juga kepada Bapak dosen Ilmu Budaya Dasar, yaitu Heri Suprapto karena telah memberikan saya kesempatan untuk membuat makalah ini.
            Karena keterbatasan waktu, tenaga dan kemampuan, saya menyadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan para pembaca dapat memaklumi setiap kekurangan dalam makalah ini, dan semoga tidak menjadi halangan bagi para pembaca untuk memahami arti, maksud, dan tujuan yang ingin kami sampaikan
            Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih serta hormat atas segala bimbingan, pengarahan, dan yang telah memberikan bantuannya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Terima kasih, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya pribadi dan juga kita semua.


                                                                                                                             Penulis

                                                                   PENDAHULUAN

Terlahir 500 tahun sebelum Masehi, sang guru dan filsuf besar, Confusius, membangun dasar kebudayaan Cina. Beliau secara umum disebut sebagai “guru pertama Cina” dan menarik murid pengikut dalam jumlah besar sepanjang hidupnya. Nasihat Confusius diberikan dalam bentuk oral kepada murid-muridnya, namun, sebentar setelah kematian sang guru besar murid-muridnya mulai menulis pesan-pesan yang mereka dapat dari sang guru, dan tulisan-tulisan ini menjadi Analects, atau “Pepatah-Pepatah Confusius” (Ames dan Rosemont, 1998). Sementara banyak pemikir-pemikir lainnya disepanjang sejarah Cina telah mempengaruhi kebudayaannya, termasuk Lao Tzu dan Sun Tzu, dapat dikatakan bahwa pengaruh terbesar dalam praktek-praktek manajerial serta kebudayaan Cina dapat dilacak ke Confusius dan sistem nilainya. Sistem ini adalah sistem yang penekanannya adalah pada pentingnya kerja keras, kesetian, dedikasi, pembelajaran, dan tata sosial.
Sekolah adalah suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha dan siswa serta fasilitas sarana dan prasarana pendidikan memerlukan adanya organisasi yang baik agar dapat berjalan dengan lancar sesuai tujuan yang diinginkan.



BUDAYA ORGANISASI DAN ETIKA MANAJERIAL

BUDAYA ORGANISASI  DAN ETIKA MANAJERIAL

Budaya
Sekumpulan keyakinan, nilai, pemahaman, perilaku dan kebiasaan yang dianut bersama.
Merupakan pola nilai dan asumsi bersama mengenai bagaimana suatu hal dapat dilakukan dalam organisasi
·        Tidak dapat diukur dan diamati secara objektif
·        Merupakan fondasi lingkungan organisasi
·        Memainkan peran utama dalam membentuk perilaku manajerial
Budaya dikategorikan menjadi 3 tingkatan:
Nilai-nilai dasar yang menjadi karakteristik budaya organisasi dapat difahami melalui beberapa manifestasi seperti:
Simbol            à objek,tindakan,peristiwa yg menyampaikan makna pada pihak lain
 cerita à  narasi yg didasarkan pd peristiwa sesungguhnya yg seringkali diulang dan  dibagikan diantara anggota organisasi untuk menjaga nilai-nilai utama agar tetap hidup
Pa            pahlawan  à figur orang yg menjadi contoh atas tujuan, karakter, dan atribut dari sebuah budaya yang kuat
           slogan à pernyataan yang menyatakan nilai utama organisasi dengan singkat dan  jelas
Ritual              à kegiatan terencana dan dilakukan untuk manfaat para pesertanya

Ilmu Sosial dan Pembangunan suatu Budaya Politik Manajerial


Ilmu Sosial dan Pembangunan suatu Budaya Politik Manajerial

Dalam buku mereka yang sangat berpengaruh, Crisis in thePopuli Hon Question (Kris i Befolkningsfrdgan, 1934) Gunnar Myrdal dan Alva Myrdal mengembangkan sebuah argumen yang nampaknya ditujukan pada reformulasi hubungan antara pertumbuhan penduduk dan teori ekonomi, suatu relasi yang menjadi keprihatinan Keynes juga. Pasangan suami istri Myrdal itu telah bergabung dengan Partai Demokrat Sosial pada tahun 1932, saal mana dalam koalisi dengan Partai Petani, mereka mengambil alih pemerintahan. Sebagai orang "lingkaran dalam" pada Parin Demokratis Sosial, suami istri ini selalu terlibat dalam debal kebijakan internal partai, juga kebijakan-kebijakan yang menyang kut kepentingan umum, misalnya mengenai pertumbuh.m penduduk dan isu-isu tentang keluarga berencana yang sedang hangat pada waktu itu. Jadi audiens mereka waktu itu adalah gerakan dan rakyat banyak. Pandangan-pandangan mereka tampil dalam bentuk esai dan bernada polemis.

Lebih dari sekedar polemik kependudukan, buku itu sebenarnya berisi suatu rencana untuk reformasi masyarakat Swedia secara menyeluruh. Meminjam terminologi yang dipakai Marx ketimbang Weber, argumentasi sentral buku itu adalah bahwa organisasi sosial dan kultural di Swedia pada waktu itu justru merupakan belenggu untuk pengembangan lebih lanjut alat-alat produksi. Semua hal yang menjadi penghalang adalah cara hidup lama yang berakar pada nilai-nilai tradisional, dan terkungkung dalam relasi-relasi sosial yang terlembagakan, yang mencerminkan suatu era masa lampau. Di sini ilmu-ilmu sosial baru — ekonomi, sosiologi, psikologi sosial dan psikologi — membantu membersihkan semak belukar guna membuka jalan pembangunan ke arah masyarakat modern.

Mengenai relasi-relasi antara besarnya jumlah penduduk. penghasilan, dan pengangguran, pasangan Myrdal ini memm-jukkan bahwa beberapa anggota partainya tidak jauh berbeda dengan kaum konservatif, kedua kelompok itu menyatakan keyakinan yang sama mengenai hukum-hukum best alam dan konservatisme moral.



      
Jadi penganut konservatif kultural kiri dan kanan ini memandangproposisi-proposisi pengendalian kelahiran dan pendidikan seksual sebagai persoalan moralitas seksual, sebagai suatu undangan ke arah dekadensi dan penyakit, dan bermaksud menyembunyikan persoalan kemiskinan di bawah "selubung masalah moral yangbertele-teleM.

Dengan itu, "rasionalisasi" mereka tidak terbatas pada pro­gram politik tetapi — mengutip istilah Weber — merembes ke dalam tahap teoretis juga. Mereka mengkritik masyarakat Swedia dari sudut pandang dunia "ilmiah" baru, di mana fakta-fakta dapat dilepaskan dari nilai-nilai, dan isu-isu kognitif dapat dibebaskan dari isu-isu moral dan emosional.
Pergeseran yang terus berlangsung dari masyarakat tradisonal menuju masyarakat modern mengandung pula tuntutan suatu cara pandang modern dalam teori sosial sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari. Membentuk kembali suatu dunia modern berarti membebaskan diri dari cara-caraberpikir tradisional baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam cara berpikir akal sehat.

Struktur pedesaan dan kota kecil yang dulunya stabil karena dilegitimasikan oleh nilai-nilai moral tradisional, kini keduanya — struktur dan nilai itu — dicabut sampai ke akar-akarnya akibat industrialisasi. Oleh karena Swedia tertinggal jtuh dibanding negara Eropa lainnya, maka pandangan dunia induitl Itl bil U ItU, hanya tertanam dalam struktur motivasi individual PrOK mi secara khusus mempengaruhi kaum wanita Swedia, ytng tempatnya di dalam masyarakat tradisional mulai berubah sania sekali.

Confusius dalam Manajemen: Memahami Nilai-Nilai Kebudayaan Cina dan Praktek-Praktek Manajerial


LIMA NILAI KEBAIKAN
    Sebagai tambahan terhadap menjaga harmoni melalui hubungan, Confusianisme mendorong lima nilai: ren, atau kebajikan; yi, atau kebenaran;  li, atau kepantasan; zhi, atau kebijaksanaan; dan xin, atau bisa dipercaya. Para manajer Confusianis diharapkan untuk peduli, bermoral, menjaga martabat mereka, memiliki kebijaksanaan, dan dapat dipegang kata-katanya. “Gentleman” Confusius diharapkan untuk hidup sesuai dengan standar yang lebih tinggi; sebuah standar yang tidak selalu terlihat dalam manajemen Cina saat ini.
    Dalam budaya Confusius, para manajer diharapkan untuk menunjukkan ren, yang artinya kebijaksanaan atau humanisme. Ren terkadang diterjemahkan sebagai “niat baik” atau kebaikan kepada orang lain.  Seorang manajer Confusianis diharapkan untuk menjadi seorang manajer berperilaku baik dan untuk mengatur dengan kebaikan. Seorang manajer diharapkan untuk fokus kepada membangun hubungan dan untuk menjadi lebih ramah. Para manajer Cina secara tradisi telah menghargai dedikasi, kemampuan untuk dipercaya, dan kesetian lebih daripada penampilan semata. Setiap pegawai berkerja sebaik kemampuan mereka dan bekerja untuk kebaikan kelompok. Perbedaan-perbedaan performa individu tidak dipandang penting selama kelompok berfungsi secara efektif. Peranan manajer adalah untuk menjaga harmoni dan niat baik diseluruh organisasi.
Sebuah aspek penting dari pemikiran Confusianis berkenaan dengan orientasi etis. Yi, atau kebenaran berarti bahwa seorang manajer diharapkan untuk menegakkan standar perilaku moral yang tertinggi. Kepentingan diri sendiri harus dikorbankan demi kebaikan organisasi. Dalam banyak kasus, kita dapat melihat para manajer Cina yang menegakkan yi, tetapi dalam beberapa kasus, standar tinggi ini diganggu hanya untuk berperilaku menyelamatkan muka. Yang cukup menarik, sudah diajukan bahwa orientasi etika Confusius telah diadopsi oleh para manajer Barat. Contohnya, Romar (2004) telah menyarankan bahwa etika Confusianis adalah konsisten dengan, dan merupakan dasar dari, banyak ide-ide manajerial yang dikembangkan oleh pemikir Barat, Peter Drucker.
   Bagi masyarakat Cina, proses mendapatkan kebijaksanaan telah selalu dijunjung tinggi. Kebijaksaaan dan usia dianggap berhubungan dekat dalam kebudayaan Cina, dan tidaklah mengagetkan untuk menemukan rasa hormat yang besar diberikan kepada anggota masyarakat yang lebih tua. Ini direfleksikan dalam pilihan-pilihan personil, dan kemungkinan bahwa pegawai yang lebih tua akan menjadi orang-orang yang ditemukan di posisi-posisi yang lebih senior di organisasi, tidak peduli bagaimana kemampuannya. Manajer Cina bertanggungjawab untuk menjaga kontrol dan memastikan agar semua bawahannya mengikuti kebijakan-kebijakan, konsisten dengan misi organisasi. Di Cina, kita menemukan orientasi yang kuat untuk membangun serta menjaga kepercayaan. Kepercayaan berawal dari sang pemimpin dan difasilitasi dengan menjaga harmoni di organisasi, bahkan sampai pada level dimana para pegawai menjadi terindoktrinasi dalam “jalur perusahaan atau partai.” Sekali lagi, ciri-ciri pribadi seperti kepercayaan dapat dipandang lebih penting daripada kemampuan atau performa.                                                                             



Keterampilan Manajerial Kepala Sekolah dan Budaya Organisasi

Sekolah adalah suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha dan siswa serta fasilitas sarana dan prasarana pendidikan memerlukan adanya organisasi yang baik agar dapat berjalan dengan lancar sesuai tujuan yang diinginkan. Semua komponen yang ada di sekolah merupakan bagian yang integral, artinya mereka melakukan pekerjaan sesuai dengan fungsi masing-masing, tetapi secara keseluruhan pekerjaan mereka diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi sekolah.
Kinerja guru dapat dilihat dan diukur berdasarkan spesifikasi/kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. Berkaitan dengan kinerja guru, wujud perilaku yang dimaksud adalah kegiatan guru dalam proses pembelajaran yaitu bagaimana seorang guru merencanakan pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar. Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan (3) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. 
Guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Tugas utama itu akan efektif apabila guru memiliki  derajat profesionalitas tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran, kecakapan  atau keterampilan yang memenuhi standar mutu atau norma etik tertentu. 


Lebih jauh Wens Tanlain dalam Syaiful Sagala (2009:13) menyebutkan ada beberapa poin yang                                                     menjadi tanggung jawab seorang guru, antara lain: mematuhi norma dan nilai kemanusiaan, menerima tugas mendidik bukan sebagai beban, tetapi dengan gembira dan sepenuh hati, menyadari benar akan apa yang dikerjakan dan akibat dari setiap perbuatannya itu, belajar dan mengajar memberikan penghargaan kepada orang lain termasuk kepada anak didik, bersikap arif bijaksana dan cermat serta hati-hati dan sebagai orang beragama melakukan kesemua yang tersebut di atas berdasarkan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Peran guru yang ditampilkan demikian, akan membentuk karakteristik anak didik atau lulusan yang beriman, berakhlak mulia, cakap, mandiri, berguna bagi agama, nusa dan bangsa terutama untuk kehidupannya yang akan datang. Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukkan kinerja maksimal di dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum menunjukkan kinerja baik, tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja guru secara makro. Guru sebagai tenaga pendidik merupakan pemimpin pendidikan dan sangat menentukan dalam proses pembelajaran di kelas. Peran kepemimpinan tersebut akan tercermin dari bagaimana guru melaksanakan peran dan tugasnya. Hal ini berarti bahwa kinerja guru merupakan faktor yang amat menentukan bagi mutu pembelajaran/pendidikan yang akan berimplikasi pada kualitas output pendidikan setelah menyelesaikan sekolah.
Ketidakdisplinan kepala sekolah yang terlihat dari kurangnya frekwensi kehadiran di sekolah, mencerminkan rendahnya komitmen kepala sekolah yang dapat mengakibatkan tidak adanya keteladanan dalam diri kepala sekolah di mata bawahannya.

Padahal kita ketahui bahwa sebagai pimpinan yang bermutu faktor keteladanan menjadi amat penting karena nilai-nilai dasar yang dianut pemimpin dalam hal ini kepala sekolah tercermin dalam perilakunya. Keteladanan pemimpin juga akan dapat mempengaruhi, membimbing, membina, mengarahkan dan menyosialisasikan serta menanamkan nilai-nilai, aturan serta pola kerja dan pola pikir yang baru.
Menurut Stephen Stolp, dalam E. Kosasih ( 2010:23) mengemukakan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan pengembangan motivasi prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas kerja. Budaya sekolah memberi gambaran bagaimana seluruh warga sekolah bergaul, bertindak dan menyelesaikan masalah dalam segala urusan di lingkungan sekolahnya. Kebiasaan mengembangkan diri terutama bagaimana setiap anggota kelompok di sekolah berusaha memperbaiki diri dan meningkatkan mutu pekerjaannya, merupakan kultur yang hidup  sebagai suatu tradisi yang tidak lagi dianggap sebagai suatu beban kerja ( Dadang Suhardan, 2010 : 121 )
Budaya adalah sumber keunggulan kompetitif utama berkelanjutan yang kemungkinan timbul sebagai pemersatu dalam organisasi sistem, struktur dan karir. Budaya sebagai semua temu hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan, kebendaan dan kebudayaan jasmaniah dalam upaya menguasai alam sekitarnya. Rasa meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan  dalam  arti  luas,  di  dalamnya  meliputi  ideologi,  kebatinan,  kesenian  serta  segala  pengetahuan  dan teknologi.




KESIMPULAN
Confusianisme tetap merupakan kekuatan sosial yang dominan dalam masyarakat Cina selama dua ribu tahun. Sampai ke Dinasti Han, ajaran Confusius terus dijaga melalui mekanisme informal yang menyalurkan kebijaksanaan dari generasi ke generasi. Dengan pembangunan Dinasti Han dan sistem administrasinya yang sangat tertata, didirikanlah sebuah sekolah untuk mendidik pembantu pemerintahan. Analects pun menjadi bagian dari materi pengajaran di akademi ini, dan para pelajarnya diharuskan lulus ujuan Confusianisme untuk bisa bekerja di pemerintahan.
 Budaya sekolah memberi gambaran bagaimana seluruh warga sekolah bergaul, bertindak dan menyelesaikan masalah dalam segala urusan di lingkungan sekolahnya. Kebiasaan mengembangkan diri terutama bagaimana setiap anggota kelompok di sekolah berusaha memperbaiki diri dan meningkatkan mutu pekerjaannya.


PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat dengan sebaik baiknya agar dapat bermanfaat bagi orang yang membacanya. Dan supaya menjadikan inspirasi bagi orang-orang yang akan membuat makalah kedepannya nanti. Apabila ada salah dalam penulisan kata serta bahasa yang kurang mengerti mohon di maklumi karena saya di sini pun masih belajar . Kritik serta saran saya butuhkan agar  dapat membuat makalah lebih baik lagi



DAFTAR PUSTAKA
Ames, R. dan H. Rosemont. (1998). Analects Confusius: Sebuah terjemahan filosofis. New York: Ballantine.
Bowen, C., Y. Wu, C. Hwang, dan R. Scherer. (2007). Berpegang pada separuh langit? Sikap terhadap wanita sebagai manajer di Republik Rakyat Cina. Jurnal Internasional Manajemen Sumber Daya Manusia, 18(2), 268-283.
Chatterjee, S., C. Pearson, dan K. Nie. (2006). Hubungan bisnis yang saling berhadapan dengan Cina Selatan: Sebuah studi empiris tentang relevansi guanxi. Jurnal Manajemen Asia Selatan, 13 (3), 59-75.
Chien, M. (2006). Sebuah studi manajemen sumber daya  lintas budaya di Cina. Kajian Bisnis, Cambridge, 6(2), 231-237.
Drucker, P. (1994). Kekuatan super baru di Asia. Jurnal Wall Street, 20 Desember.
Lin, C. dan Y. Chi. (2007). Filsafat manajemen Cina – studi pemikiran Confusius. Jurnal Cambridge Bisnis Akademi Amerika, 11(1), 191-196.
 


                                                                                       


Tidak ada komentar:

Posting Komentar