KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji serta syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berkat Rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pengaruh Budaya Terhadap Kemampuan
Manajerial”. Makalah ini di buat berdasarkan tugas dari mata kuliah Ilmu Budaya
Dasar.
Saya mengucapkan terima kasih kepada teman serta sumber-sumber yang telah
membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini. Saya ucapkan terima kasih juga
kepada Bapak dosen Ilmu Budaya Dasar, yaitu Heri Suprapto karena telah memberikan saya
kesempatan untuk membuat makalah ini.
Karena keterbatasan waktu, tenaga dan kemampuan, saya menyadari makalah ini
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan para pembaca dapat
memaklumi setiap kekurangan dalam makalah ini, dan semoga
tidak menjadi halangan bagi para pembaca untuk memahami arti, maksud, dan
tujuan yang ingin kami sampaikan
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih serta hormat atas segala bimbingan,
pengarahan, dan yang telah memberikan bantuannya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Terima kasih, dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi saya pribadi dan juga kita semua.
Penulis
PENDAHULUAN
Terlahir 500 tahun sebelum Masehi, sang guru dan filsuf
besar, Confusius, membangun dasar kebudayaan Cina. Beliau secara umum disebut
sebagai “guru pertama Cina” dan menarik murid pengikut dalam jumlah besar
sepanjang hidupnya. Nasihat Confusius diberikan dalam bentuk oral kepada
murid-muridnya, namun, sebentar setelah kematian sang guru besar murid-muridnya
mulai menulis pesan-pesan yang mereka dapat dari sang guru, dan tulisan-tulisan
ini menjadi Analects, atau “Pepatah-Pepatah Confusius” (Ames dan Rosemont,
1998). Sementara banyak pemikir-pemikir lainnya disepanjang sejarah Cina telah
mempengaruhi kebudayaannya, termasuk Lao Tzu dan Sun Tzu, dapat dikatakan bahwa
pengaruh terbesar dalam praktek-praktek manajerial serta kebudayaan Cina dapat
dilacak ke Confusius dan sistem nilainya. Sistem ini adalah sistem yang
penekanannya adalah pada pentingnya kerja keras, kesetian, dedikasi,
pembelajaran, dan tata sosial.
Sekolah
adalah suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat kepala sekolah, guru,
pegawai tata usaha dan siswa serta fasilitas sarana dan prasarana pendidikan
memerlukan adanya organisasi yang baik agar dapat berjalan dengan lancar sesuai
tujuan yang diinginkan.
BUDAYA
ORGANISASI DAN ETIKA MANAJERIAL
BUDAYA ORGANISASI DAN ETIKA MANAJERIAL
Budaya
Sekumpulan keyakinan, nilai, pemahaman, perilaku dan kebiasaan yang
dianut bersama.
Merupakan pola nilai dan asumsi bersama mengenai bagaimana suatu hal
dapat dilakukan dalam organisasi
·
Tidak dapat
diukur dan diamati secara objektif
·
Merupakan
fondasi lingkungan organisasi
·
Memainkan peran
utama dalam membentuk perilaku manajerial
Budaya dikategorikan menjadi 3 tingkatan:
Nilai-nilai dasar yang menjadi
karakteristik budaya organisasi dapat difahami melalui beberapa manifestasi
seperti:
Simbol à objek,tindakan,peristiwa yg menyampaikan makna pada
pihak lain
cerita à narasi yg didasarkan pd peristiwa sesungguhnya yg seringkali diulang
dan dibagikan diantara anggota organisasi untuk menjaga nilai-nilai utama
agar tetap hidup
Pa pahlawan à
figur orang yg menjadi contoh atas tujuan, karakter, dan atribut dari sebuah
budaya yang kuat
slogan
à
pernyataan yang menyatakan nilai utama organisasi dengan singkat dan
jelas
Ritual
à
kegiatan terencana dan dilakukan untuk manfaat para pesertanya
Ilmu Sosial dan Pembangunan suatu Budaya Politik Manajerial
Ilmu Sosial dan
Pembangunan suatu Budaya Politik Manajerial
Dalam
buku mereka yang sangat berpengaruh, Crisis in thePopuli Hon Question (Kris
i Befolkningsfrdgan, 1934) Gunnar Myrdal dan Alva Myrdal mengembangkan
sebuah argumen yang nampaknya ditujukan pada reformulasi hubungan antara
pertumbuhan penduduk dan teori ekonomi, suatu relasi yang menjadi keprihatinan
Keynes juga. Pasangan suami istri Myrdal itu telah bergabung dengan Partai
Demokrat Sosial pada tahun 1932, saal mana dalam koalisi dengan Partai Petani,
mereka mengambil alih pemerintahan. Sebagai orang "lingkaran dalam"
pada Parin Demokratis Sosial, suami istri ini selalu terlibat dalam debal
kebijakan internal partai, juga kebijakan-kebijakan yang menyang kut
kepentingan umum, misalnya mengenai pertumbuh.m penduduk dan isu-isu tentang
keluarga berencana yang sedang hangat pada waktu itu. Jadi audiens mereka waktu
itu adalah gerakan dan rakyat banyak. Pandangan-pandangan mereka
tampil dalam bentuk esai dan bernada polemis.
Lebih
dari sekedar polemik kependudukan, buku itu sebenarnya berisi suatu rencana
untuk reformasi masyarakat Swedia secara menyeluruh. Meminjam terminologi yang
dipakai Marx ketimbang Weber, argumentasi sentral buku itu adalah bahwa
organisasi sosial dan kultural di Swedia pada waktu itu justru merupakan
belenggu untuk pengembangan lebih lanjut alat-alat produksi. Semua hal yang
menjadi penghalang adalah cara hidup lama yang berakar pada nilai-nilai
tradisional, dan terkungkung dalam relasi-relasi sosial yang terlembagakan,
yang mencerminkan suatu era masa lampau. Di sini ilmu-ilmu sosial baru —
ekonomi, sosiologi, psikologi sosial dan psikologi — membantu membersihkan
semak belukar guna membuka jalan pembangunan ke arah masyarakat modern.
Mengenai
relasi-relasi antara besarnya jumlah penduduk. penghasilan, dan pengangguran,
pasangan Myrdal ini memm-jukkan bahwa beberapa anggota partainya tidak jauh
berbeda dengan kaum konservatif, kedua kelompok itu menyatakan keyakinan yang
sama mengenai hukum-hukum best alam dan konservatisme moral.
Jadi
penganut konservatif kultural kiri dan kanan ini memandangproposisi-proposisi
pengendalian kelahiran dan pendidikan seksual sebagai persoalan
moralitas seksual, sebagai suatu undangan ke arah dekadensi dan penyakit, dan
bermaksud menyembunyikan persoalan kemiskinan di bawah "selubung masalah
moral yangbertele-teleM.
Dengan
itu, "rasionalisasi" mereka tidak terbatas pada program politik
tetapi — mengutip istilah Weber — merembes ke dalam tahap teoretis juga. Mereka
mengkritik masyarakat Swedia dari sudut pandang dunia "ilmiah" baru,
di mana fakta-fakta dapat dilepaskan dari nilai-nilai, dan isu-isu kognitif
dapat dibebaskan dari isu-isu moral dan emosional.
Pergeseran
yang terus berlangsung dari masyarakat tradisonal menuju masyarakat modern
mengandung pula tuntutan suatu cara pandang modern dalam teori sosial
sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari. Membentuk kembali suatu dunia modern
berarti membebaskan diri dari cara-caraberpikir tradisional baik dalam ilmu
pengetahuan maupun dalam cara berpikir akal sehat.
Struktur
pedesaan dan kota kecil yang dulunya stabil karena dilegitimasikan oleh
nilai-nilai moral tradisional, kini keduanya — struktur dan nilai itu — dicabut
sampai ke akar-akarnya akibat industrialisasi. Oleh karena Swedia
tertinggal jtuh dibanding negara Eropa lainnya, maka pandangan dunia induitl
Itl bil U ItU, hanya tertanam dalam struktur motivasi individual PrOK mi secara
khusus mempengaruhi kaum wanita Swedia, ytng tempatnya di dalam masyarakat
tradisional mulai berubah sania sekali.
Confusius dalam Manajemen: Memahami Nilai-Nilai Kebudayaan Cina dan Praktek-Praktek Manajerial
LIMA NILAI KEBAIKAN
Sebagai tambahan terhadap menjaga harmoni melalui hubungan, Confusianisme mendorong lima nilai: ren, atau kebajikan; yi, atau kebenaran; li, atau kepantasan; zhi, atau kebijaksanaan; dan xin, atau bisa dipercaya. Para manajer Confusianis diharapkan untuk peduli, bermoral, menjaga martabat mereka, memiliki kebijaksanaan, dan dapat dipegang kata-katanya. “Gentleman” Confusius diharapkan untuk hidup sesuai dengan standar yang lebih tinggi; sebuah standar yang tidak selalu terlihat dalam manajemen Cina saat ini.
Dalam budaya Confusius, para manajer diharapkan untuk menunjukkan ren, yang artinya kebijaksanaan atau humanisme. Ren terkadang diterjemahkan sebagai “niat baik” atau kebaikan kepada orang lain. Seorang manajer Confusianis diharapkan untuk menjadi seorang manajer berperilaku baik dan untuk mengatur dengan kebaikan. Seorang manajer diharapkan untuk fokus kepada membangun hubungan dan untuk menjadi lebih ramah. Para manajer Cina secara tradisi telah menghargai dedikasi, kemampuan untuk dipercaya, dan kesetian lebih daripada penampilan semata. Setiap pegawai berkerja sebaik kemampuan mereka dan bekerja untuk kebaikan kelompok. Perbedaan-perbedaan performa individu tidak dipandang penting selama kelompok berfungsi secara efektif. Peranan manajer adalah untuk menjaga harmoni dan niat baik diseluruh organisasi.
Sebuah aspek penting dari pemikiran Confusianis berkenaan dengan orientasi etis. Yi, atau kebenaran berarti bahwa seorang manajer diharapkan untuk menegakkan standar perilaku moral yang tertinggi. Kepentingan diri sendiri harus dikorbankan demi kebaikan organisasi. Dalam banyak kasus, kita dapat melihat para manajer Cina yang menegakkan yi, tetapi dalam beberapa kasus, standar tinggi ini diganggu hanya untuk berperilaku menyelamatkan muka. Yang cukup menarik, sudah diajukan bahwa orientasi etika Confusius telah diadopsi oleh para manajer Barat. Contohnya, Romar (2004) telah menyarankan bahwa etika Confusianis adalah konsisten dengan, dan merupakan dasar dari, banyak ide-ide manajerial yang dikembangkan oleh pemikir Barat, Peter Drucker.
Bagi masyarakat Cina, proses mendapatkan kebijaksanaan telah selalu dijunjung tinggi. Kebijaksaaan dan usia dianggap berhubungan dekat dalam kebudayaan Cina, dan tidaklah mengagetkan untuk menemukan rasa hormat yang besar diberikan kepada anggota masyarakat yang lebih tua. Ini direfleksikan dalam pilihan-pilihan personil, dan kemungkinan bahwa pegawai yang lebih tua akan menjadi orang-orang yang ditemukan di posisi-posisi yang lebih senior di organisasi, tidak peduli bagaimana kemampuannya. Manajer Cina bertanggungjawab untuk menjaga kontrol dan memastikan agar semua bawahannya mengikuti kebijakan-kebijakan, konsisten dengan misi organisasi. Di Cina, kita menemukan orientasi yang kuat untuk membangun serta menjaga kepercayaan. Kepercayaan berawal dari sang pemimpin dan difasilitasi dengan menjaga harmoni di organisasi, bahkan sampai pada level dimana para pegawai menjadi terindoktrinasi dalam “jalur perusahaan atau partai.” Sekali lagi, ciri-ciri pribadi seperti kepercayaan dapat dipandang lebih penting daripada kemampuan atau performa.
Keterampilan
Manajerial Kepala Sekolah dan Budaya Organisasi
Sekolah adalah suatu lembaga pendidikan yang di dalamnya
terdapat kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha dan siswa serta fasilitas
sarana dan prasarana pendidikan memerlukan adanya organisasi yang baik agar
dapat berjalan dengan lancar sesuai tujuan yang diinginkan. Semua komponen yang
ada di sekolah merupakan bagian yang integral, artinya mereka melakukan
pekerjaan sesuai dengan fungsi masing-masing, tetapi secara keseluruhan
pekerjaan mereka diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi sekolah.
Kinerja guru dapat dilihat dan diukur berdasarkan
spesifikasi/kriteria kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru. Berkaitan
dengan kinerja guru, wujud perilaku yang dimaksud adalah kegiatan guru dalam
proses pembelajaran yaitu bagaimana seorang guru merencanakan pembelajaran,
melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar. Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga
kependidikan berkewajiban (1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, (2) mempunyai komitmen secara
profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan (3) memberi teladan dan
menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan
yang diberikan kepadanya.
Guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik. Tugas utama itu akan efektif apabila guru memiliki derajat
profesionalitas tertentu yang tercermin dari kompetensi, kemahiran,
kecakapan atau keterampilan yang memenuhi standar mutu atau norma etik
tertentu.
Lebih jauh Wens Tanlain dalam Syaiful Sagala (2009:13)
menyebutkan ada beberapa poin yang menjadi
tanggung jawab seorang guru, antara lain: mematuhi norma dan nilai kemanusiaan,
menerima tugas mendidik bukan sebagai beban, tetapi dengan gembira dan sepenuh
hati, menyadari benar akan apa yang dikerjakan dan akibat dari setiap
perbuatannya itu, belajar dan mengajar memberikan penghargaan kepada orang lain
termasuk kepada anak didik, bersikap arif bijaksana dan cermat serta hati-hati
dan sebagai orang beragama melakukan kesemua yang tersebut di atas berdasarkan
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Peran guru yang ditampilkan demikian, akan membentuk
karakteristik anak didik atau lulusan yang beriman, berakhlak mulia, cakap,
mandiri, berguna bagi agama, nusa dan bangsa terutama untuk kehidupannya yang
akan datang. Bila kita amati di lapangan, bahwa guru sudah menunjukkan kinerja
maksimal di dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik, pengajar
dan pelatih. Akan tetapi barangkali masih ada sebagian guru yang belum
menunjukkan kinerja baik, tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja guru
secara makro. Guru sebagai tenaga pendidik merupakan pemimpin pendidikan dan
sangat menentukan dalam proses pembelajaran di kelas. Peran
kepemimpinan tersebut akan tercermin dari bagaimana guru melaksanakan peran dan
tugasnya. Hal ini berarti bahwa kinerja guru merupakan faktor yang amat
menentukan bagi mutu pembelajaran/pendidikan yang akan berimplikasi pada
kualitas output pendidikan setelah menyelesaikan sekolah.
Ketidakdisplinan kepala sekolah yang terlihat
dari kurangnya frekwensi kehadiran di sekolah, mencerminkan rendahnya komitmen
kepala sekolah yang dapat mengakibatkan tidak adanya keteladanan dalam diri
kepala sekolah di mata bawahannya.
Padahal kita ketahui bahwa sebagai pimpinan yang bermutu
faktor keteladanan menjadi amat penting karena nilai-nilai dasar yang dianut
pemimpin dalam hal ini kepala sekolah tercermin dalam perilakunya. Keteladanan
pemimpin juga akan dapat mempengaruhi, membimbing, membina, mengarahkan dan
menyosialisasikan serta menanamkan nilai-nilai, aturan serta pola kerja dan
pola pikir yang baru.
Menurut Stephen Stolp, dalam E. Kosasih ( 2010:23)
mengemukakan bahwa budaya organisasi di sekolah berkorelasi dengan pengembangan
motivasi prestasi belajar siswa serta kepuasan kerja dan produktivitas kerja.
Budaya sekolah memberi gambaran bagaimana seluruh warga sekolah bergaul,
bertindak dan menyelesaikan masalah dalam segala urusan di lingkungan
sekolahnya. Kebiasaan mengembangkan diri terutama bagaimana setiap anggota
kelompok di sekolah berusaha memperbaiki diri dan meningkatkan mutu
pekerjaannya, merupakan kultur yang hidup sebagai suatu tradisi yang
tidak lagi dianggap sebagai suatu beban kerja ( Dadang Suhardan, 2010 : 121 )
Budaya adalah sumber
keunggulan kompetitif utama berkelanjutan yang kemungkinan timbul sebagai
pemersatu dalam organisasi sistem, struktur
dan karir. Budaya sebagai semua temu hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan, kebendaan dan
kebudayaan jasmaniah dalam upaya menguasai alam sekitarnya. Rasa meliputi jiwa
manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti
luas, di dalamnya meliputi ideologi,
kebatinan, kesenian serta segala pengetahuan dan
teknologi.
KESIMPULAN
Confusianisme tetap merupakan kekuatan sosial yang dominan dalam masyarakat Cina selama dua ribu tahun. Sampai ke Dinasti Han, ajaran Confusius terus dijaga melalui mekanisme informal yang menyalurkan kebijaksanaan dari generasi ke generasi. Dengan pembangunan Dinasti Han dan sistem administrasinya yang sangat tertata, didirikanlah sebuah sekolah untuk mendidik pembantu pemerintahan. Analects pun menjadi bagian dari materi pengajaran di akademi ini, dan para pelajarnya diharuskan lulus ujuan Confusianisme untuk bisa bekerja di pemerintahan.
Confusianisme tetap merupakan kekuatan sosial yang dominan dalam masyarakat Cina selama dua ribu tahun. Sampai ke Dinasti Han, ajaran Confusius terus dijaga melalui mekanisme informal yang menyalurkan kebijaksanaan dari generasi ke generasi. Dengan pembangunan Dinasti Han dan sistem administrasinya yang sangat tertata, didirikanlah sebuah sekolah untuk mendidik pembantu pemerintahan. Analects pun menjadi bagian dari materi pengajaran di akademi ini, dan para pelajarnya diharuskan lulus ujuan Confusianisme untuk bisa bekerja di pemerintahan.
Budaya sekolah memberi gambaran bagaimana
seluruh warga sekolah bergaul, bertindak dan menyelesaikan masalah dalam segala
urusan di lingkungan sekolahnya. Kebiasaan mengembangkan diri terutama
bagaimana setiap anggota kelompok di sekolah berusaha memperbaiki diri dan
meningkatkan mutu pekerjaannya.
PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat dengan sebaik baiknya agar
dapat bermanfaat bagi orang yang membacanya. Dan supaya menjadikan inspirasi
bagi orang-orang yang akan membuat makalah kedepannya nanti. Apabila ada salah
dalam penulisan kata serta bahasa yang kurang mengerti mohon di maklumi karena
saya di sini pun masih belajar . Kritik serta saran saya butuhkan agar dapat membuat makalah lebih baik lagi
DAFTAR PUSTAKA
Ames, R. dan H. Rosemont. (1998). Analects
Confusius: Sebuah terjemahan filosofis. New York: Ballantine.
Bowen, C., Y. Wu, C. Hwang, dan R. Scherer.
(2007). Berpegang pada separuh langit? Sikap terhadap wanita sebagai manajer di
Republik Rakyat Cina. Jurnal Internasional Manajemen Sumber Daya Manusia,
18(2), 268-283.
Chatterjee, S., C. Pearson, dan K. Nie. (2006).
Hubungan bisnis yang saling berhadapan dengan Cina Selatan: Sebuah studi
empiris tentang relevansi guanxi. Jurnal Manajemen Asia Selatan, 13 (3), 59-75.
Chien, M. (2006). Sebuah studi manajemen sumber
daya lintas budaya di Cina. Kajian Bisnis, Cambridge, 6(2), 231-237.
Drucker, P. (1994). Kekuatan super baru di Asia.
Jurnal Wall Street, 20 Desember.
Lin, C. dan Y. Chi. (2007). Filsafat manajemen Cina – studi pemikiran Confusius. Jurnal Cambridge Bisnis Akademi Amerika, 11(1), 191-196.
Lin, C. dan Y. Chi. (2007). Filsafat manajemen Cina – studi pemikiran Confusius. Jurnal Cambridge Bisnis Akademi Amerika, 11(1), 191-196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar