Jumat, 04 Januari 2013

PERBEDAAN ANTARA KEBUDAYAAN INDRAMAYU DAN CIREBONAN

Letaknya berada di perlintasan dua kebudayaan besar membuat masyarakat di Cirebon, Indramayu, dan (sebagian) Majalengka (Ciayumaja) memiliki dua bahasa ibu. Perjalanan sejarahnya yang panjang kemudian membentuk peta kebudayaan yang mencerminkan adanya tarik-menarik pengaruh di antara dua kebudayaan besar tadi.
Yang dimaksud dua kebudayaan besar itu ialah Sunda di sebelah barat dan selatan, serta Jawa di sebelah timur dan utara. Pengaruh Sunda, dalam sejarahnya lebih bersifat politis karena Cirebon (Ciayumaja) dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan (geopolitik) kerajaan-kerajaan Buddha-Hindu Kuno seperti Galuh, Pajajaran, dan Sumedang Larang.

Sementara pengaruh Jawa, lebih bersifat kebudayaan (geokultur) melalui interaksi sosial yang terbentuk karena letak geografis pesisir pantura yang strategis sebagai sentra perdagangan. Masuknya Islam pada abad ke-15 sampai ke-16, di antaranya lewat syiar Islam Sunan Gunung Djati yang menggunakan bahasa Jawa, seolah makin mempertegas pengaruh Jawa secara kebudayaan di wilayah tersebut. Tarik-menarik di antara dua kebudayaan besar tadi, dalam perjalanannya, kemudian menghasilkan suatu kebudayaan tersendiri, yakni apa yang sampai sekarang disebut dengan kebudayaan Cirebon. Dari sisi kebahasaan, masyarakat yang berdiam di Ciayumaja, sampai sekarang lalu mengenal dua bahasa ibu (dwibahasa), yakni Sunda dan Jawa.

Dari sisi kebahasaan (bahasa ibu) tadi, terbentuk pula peta dua bahasa yang bila menurut lewat kronologi sejarah atau proses terbentuknya konstruksi sosiologis dan antropologis masyarakatnya, menggambarkan intensitas pengaruh dari dua kebudayaan besar tadi (Sunda dan Jawa). Dalam konteks kewilayahan secara administratif kenegaraan masa sekarang, di antara lima daerah, yakni Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, serta Kuningan (Ciayumajakuning), hanya masyarakat Kuningan yang bahasa ibunya sama dengan daerah Pasundan umumnya, yakni bahasa Sunda. Empat daerah lainnya, yakni Ciayumaja, mengenal dua bahasa ibu, Sunda dan Jawa. Akibat tarik-menarik pengaruh tadi, terbentuk entitas kebudayaan tersendiri yang disebut kebudayaan Cirebon. Dari segi bahasa, juga kemudian membentuk bahasa tersendiri, yakni yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Sunda Cirebon atau juga Jawa Cirebon.

Kata “Cirebon” menunjukkan bahasa Sunda yang dipakai masyarakat Ciayumaja, terdapat kekhasan, pun demikian dengan bahasa Jawa. Ada perbedaan-perbedaan dengan Sunda atau Jawa mainstream, terutama pada dialek (irama bahasa) dan idiolek (ragam bahasa). Perbedaan yang terasa itu pada dialek dan idiolek. Sunda yang digunakan wong Cerbon, beda dengan Sunda mainstream. Juga dengan bahasa Jawanya. Dari fenomena itu muncul “peng-aku-an” bahwa Cirebon ya Cirebon, bukan Sunda maupun Jawa.
Pada fenomena itu, terdapat pula sisi keanehan, yakni bahwa bahasa Sunda dan Jawa yang digunakan masyarakat di Ciayumaja, terdapat kosakata “Sunda Buhun” dan “Jawa Kuno” yang di masyarakat Pasundan atau Jawa sudah tidak lagi digunakan.
Untuk bahasa Jawa, misalnya kata bobat (bohong), masyarakat Jawa (di Jateng dan Jatim) sudah sama sekali tidak mengenal. Untuk menyebut “bohong”, rata-rata orang Jawa menyebut dengan lombo atau nglombo atau ngapusi.

Kata bobat ini merupakan bahasa Jawa kuno yang oleh rata-rata masyarakat Jawa sendiri sudah tidak digunakan. Padahal, di balik kata bobat ada peristiwa sejarah yang sangat dramatis dan menimbulkan trauma bagi masyarakat Sunda umumnya, yakni Perang Bubat, (bubat berasal dari kata bobat) atau perang bohong-bohongan yang terjadi ketika sepasukan tentara Majapahit, atas perintah Patih Gajah Mada, menyerang rombongan Putri Padjajaran Diah Pitaloka (diyakini di daerah Majalengka) sekadar untuk menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan putri Kerajaan Sunda itu.
“Bahwa ada kosakata-kosakata kuno yang masih bertahan ini sama dengan fenomena Jawa di Suriname. Masyarakat Jawa di Suriname itu lebih Jawa daripada masyarakat Jawa sendiri. Bahasa Jawa Suriname lebih klasik dibandingkan dengan Jawa yang ada di Pulau Jawa,” tutur Nurochman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar